Sabtu, 23 November 2013

KELAS SOSIAL DALAM MASYARAKAT

Kelas sosial atau golongan sosial merujuk kepada perbedaan hierarkis (atau stratifikasi) antara insan atau kelompok manusia dalam masyarakat atau budaya. Biasanya kebanyakan masyarakat memiliki golongan sosial, namun tidak semua masyarakat memiliki jenis-jenis kategori golongan sosial yang sama. Berdasarkan karakteristik stratifikasi sosial, dapat kita temukan beberapa pembagian kelas atau golongan dalam masyarakat. Beberapa masyarakat tradisional pemburu-pengumpul, tidak memiliki golongan sosial dan seringkali tidak memiliki pemimpin tetap pula. Oleh karena itu masyarakt seperti ini menghindari stratifikasi sosial. Dalam masyarakat seperti ini, semua orang biasanya mengerjakan aktivitas yang sama dan tidak ada pembagian pekerjaan.
Di dalam kehidupan masyarakat, pada hakekatnya  tak lebih dari pertentangan kelas sosial, yakni pertentangan antar masyarakat kelas dominan (borjuis) dan masyarakat kelas subordinat. Pertentangan kelas sendiri dapat dimanifeskan sebagi suatu usaha yang ditempuh oleh kaum proletar dalam usahanya guna menciptakan kesejahteraan bagi masyarakat tanpa tebang pilih dan menghapuskan kelas-kelas social dalam masyarkat.
Pertentangan kelas ini terjadi bukan tanpa sebab, jika kita merujuk pada perkembangan sejarah manusia bahwasanya pertentangan kelas ini telah di mulai sejak era masyarakat primitive,kuno,feodal sampai dengan masyarakat post-modernisme. 
Sumberdaya alam yang jumlahnya tebatas dan berubahnya pola konsumsi masyarakat menjadi salah satu pendorong untama munculnya kelas-kelas social. Jika dahulu masyarakat hanya mengkonsumsi barang sesuai dengan apa yang ia butuhkan namun berbeda dengan yang terjadi sekarang ini, di era moderinisasi, masyarakat mengkonsumsi barang bukan hanya melihat dari segi nilai guna barang tersebut, namun lebih kepada prestise yang terdapat pada barang tersebut. Berbicara ke-2 kelas diatas yakni kelas dominan dan subordinat, kita akan membahasnya secara lebih terperinci :
1.             Kelas Dominan 
Kelas dominan atau sering disebut masyarakat borjouis dapat juga disebut kelas masyarakat yang memiliki berbagai factor- factor produksi ( Tanah, SDA, Modal, alat produksi, dsb ), masyarakat kelas dominan ini biasanya berjumlah lebih sedikit  dibanding dengan kelas masyarakat subordinat.
2.             Kelas Subordinat
Kelas Subordinat atau masyarakat proletar (kelas pekerja) yakni kelas masyarakat yang tidak memiliki factor-faktor produksi, masyarakat kelas ini hanya melakukan kegiatan-kegiatan yang orientasinya memberikan nilai lebih kepada para pemegang factor-faktor produksi, Kelas masyarakat ini jumlahnya lebih banyak jika dibanding dengan masyarakat borjouis.
Pasca meletusnya peristiwa revolusi industri di Prancis pada abad ke-19, pertentangan kelas ini semakin begitu terasa dalam kehidupan social masyarakat. Revolusi industry yang dimulai di Prancis kian hari kian menjangkit ke seluruh Negara dibelahan dunia. Abad tersebut merupakan babak baru pertentangan kelas dalam masyarakat yang tak dapat terelakan lagi, hal ini berimbas pada kian mantapnya pertentangan kelas social dalam kehidupan masyarakat. Jika kita mengacu pada hakekat manusia maka tidak menjadi sebuah pembenaran jika di dalam masyarakat terdapat sekat-sekat yang mengkoptasikan masyarakat menjadi kelas-kelas social, karena pada dasarnya semua manusia mempunyai kedudukan dan hak yang sama, yang menjadi pembeda hanya peran yang mereka lakoni dalam dunia yang paradoksal ini. Dan pada puncakanya pertentangan kelas dominan dan subordinat dari masa ke masa tak akan pernah usai, jika kita sebagai subyek dari kelas tersebut tak pernah sadar dimana kita akan memposisikan diri dalam ke-2 jenis kelas tersebut, sehingga untuk mencapai masyarakat tanpa kelas masih akan menjadi sebuah keniscayaan.


KELAS SOSIAL DALAM MASYARAKAT

Kelas sosial atau golongan sosial merujuk kepada perbedaan hierarkis (atau stratifikasi) antara insan atau kelompok manusia dalam masyarakat atau budaya. Biasanya kebanyakan masyarakat memiliki golongan sosial, namun tidak semua masyarakat memiliki jenis-jenis kategori golongan sosial yang sama. Berdasarkan karakteristik stratifikasi sosial, dapat kita temukan beberapa pembagian kelas atau golongan dalam masyarakat. Beberapa masyarakat tradisional pemburu-pengumpul, tidak memiliki golongan sosial dan seringkali tidak memiliki pemimpin tetap pula. Oleh karena itu masyarakt seperti ini menghindari stratifikasi sosial. Dalam masyarakat seperti ini, semua orang biasanya mengerjakan aktivitas yang sama dan tidak ada pembagian pekerjaan.
Di dalam kehidupan masyarakat, pada hakekatnya  tak lebih dari pertentangan kelas sosial, yakni pertentangan antar masyarakat kelas dominan (borjuis) dan masyarakat kelas subordinat. Pertentangan kelas sendiri dapat dimanifeskan sebagi suatu usaha yang ditempuh oleh kaum proletar dalam usahanya guna menciptakan kesejahteraan bagi masyarakat tanpa tebang pilih dan menghapuskan kelas-kelas social dalam masyarkat.
Pertentangan kelas ini terjadi bukan tanpa sebab, jika kita merujuk pada perkembangan sejarah manusia bahwasanya pertentangan kelas ini telah di mulai sejak era masyarakat primitive,kuno,feodal sampai dengan masyarakat post-modernisme. 
Sumberdaya alam yang jumlahnya tebatas dan berubahnya pola konsumsi masyarakat menjadi salah satu pendorong untama munculnya kelas-kelas social. Jika dahulu masyarakat hanya mengkonsumsi barang sesuai dengan apa yang ia butuhkan namun berbeda dengan yang terjadi sekarang ini, di era moderinisasi, masyarakat mengkonsumsi barang bukan hanya melihat dari segi nilai guna barang tersebut, namun lebih kepada prestise yang terdapat pada barang tersebut. Berbicara ke-2 kelas diatas yakni kelas dominan dan subordinat, kita akan membahasnya secara lebih terperinci :
1.             Kelas Dominan 
Kelas dominan atau sering disebut masyarakat borjouis dapat juga disebut kelas masyarakat yang memiliki berbagai factor- factor produksi ( Tanah, SDA, Modal, alat produksi, dsb ), masyarakat kelas dominan ini biasanya berjumlah lebih sedikit  dibanding dengan kelas masyarakat subordinat.
2.             Kelas Subordinat
Kelas Subordinat atau masyarakat proletar (kelas pekerja) yakni kelas masyarakat yang tidak memiliki factor-faktor produksi, masyarakat kelas ini hanya melakukan kegiatan-kegiatan yang orientasinya memberikan nilai lebih kepada para pemegang factor-faktor produksi, Kelas masyarakat ini jumlahnya lebih banyak jika dibanding dengan masyarakat borjouis.
Pasca meletusnya peristiwa revolusi industri di Prancis pada abad ke-19, pertentangan kelas ini semakin begitu terasa dalam kehidupan social masyarakat. Revolusi industry yang dimulai di Prancis kian hari kian menjangkit ke seluruh Negara dibelahan dunia. Abad tersebut merupakan babak baru pertentangan kelas dalam masyarakat yang tak dapat terelakan lagi, hal ini berimbas pada kian mantapnya pertentangan kelas social dalam kehidupan masyarakat. Jika kita mengacu pada hakekat manusia maka tidak menjadi sebuah pembenaran jika di dalam masyarakat terdapat sekat-sekat yang mengkoptasikan masyarakat menjadi kelas-kelas social, karena pada dasarnya semua manusia mempunyai kedudukan dan hak yang sama, yang menjadi pembeda hanya peran yang mereka lakoni dalam dunia yang paradoksal ini. Dan pada puncakanya pertentangan kelas dominan dan subordinat dari masa ke masa tak akan pernah usai, jika kita sebagai subyek dari kelas tersebut tak pernah sadar dimana kita akan memposisikan diri dalam ke-2 jenis kelas tersebut, sehingga untuk mencapai masyarakat tanpa kelas masih akan menjadi sebuah keniscayaan.


Kamis, 07 November 2013

Generasi dan Regenerasi

 GENERASI dan REGENERASI


Generasi secara sederhana dapat diartikan sebagai suatu masa di mana kelompok manusia pada masa tersebut mempunyai keunikan yang dapat memberi ciri pada dirinya dan pada perubahan sejarah atau zaman.
Menurut Notosusanto, pengertian generasi itu sendiri sebenarnya lebih berlaku untuk kelompok inti yang menjadi panutan masyarakat zamannya, yang dalam suatu situasi sosial dianggap sebagai pimpinan atau paling tidak penggaris pola zamannya (pattern setter).
Di Indonesia, dianggap telah ada empat generasi, yaitu generasi ‘20-an, generasi ’45, generasi ’66, dan generasi reformasi (’98). Suatu generasi harus dipersiapkan untuk menghadapi tantangan pada zamannya, melaksanakan pembangunan dengan sumber daya yang ada dan akan ada, serta menjaga keberlangsungan dan keberlanjutan dari pembangunan dan sumber daya-sumber daya tersebut.
Untuk itu diperlukan adanya suatu sistem dan mekanisme pembangunan dalam keseluruhan yang melibatkan semua pihak, baik aparatur, peraturan, pengawas, maupun rakyatnya (grass-root). Selain itu, diperlukan juga kajian-kajian sosial seperti ekonomi, kependudukan (demografi) dan ekologi untuk pendukungnya. Cara pandang kita terhadap pengertian generasi, baik dari sisi terminologi maupun fakta dan persepsinya tidak dapat dilakukan dengan terlalu sederhana.
Dari generasi ke generasi selalu memunculkan permasalahan yang khusus dan pola penyelesaiannya akan khas pula tergantung faktor manusia dan kondisi yang ada pada zamannya.
Masing-masing generasi mencoba menjawab tantangan yang khas pada masanya dan seharusnyalah dipandang secara holistik (menyeluruh) untuk mempelajari dan mengkajinya.
Pemahaman tentang sejarah dan wawasan yang luas sangat mempengaruhi tantang penilaian dan persepsi terhadap keberadaan suatu generasi dan masyarakat secara keseluruhan. Bila kita kaitkan antara generasi dengan pembangunan, maka keberadaan generasi tidak akan terlepas dari karakter dan ciri-ciri penduduk suatu bangsa beserta kondisinya.
Masalah penduduk yang meliputi jumlah, komposisi, persebaran, perubahan, pertumbuhan dan ciri-ciri penduduk berkaitan langsung dengan perhitungan-perhitungan pembangunan, baik konsep, tujuan maupun strategi pembangunan suatu bangsa.

Penduduk suatu bangsa dapat merupakan modal yang sangat penting bagi pembangunan (sumber daya), tetapi jika tidak dipelajari dan disesuaikan akan dapat menjadi faktor penghambat yang cukup penting pula. Masing-masing negara mempunyai kebijakan regenerasi yang berbeda dalam menangani masalah penduduk

Individu, Keluarga dan Masyarakat

Individu, Keluarga dan Masyarakat


1.         Individu 
Kata individu berasal dari kata latin, yaitu individiuum, berarti yang tak terbagi. Jadi, merupakan suatu sebutan yang dapat dipakai untuk menyatakan suatu kesatuan yang paling kecil dan terbatas. Dalam ilmu sosial paham individu menyangkut tabiatnya dengan kehidupan jiwanya yang majemuk, memegang peranan dalam pergaulan hidup manusia. Dalam ilmu sosial, individu menekankan penyelidikan kepada kenyataan–kenyataan hidup yang istimewa, yang tak seberapa mempengaruhi kehidupan manusia.
2.         Keluarga
Keluarga diartikan sebagai suatu satuan sosial terkecil yang dimiliki manusia sebagai makhluk sosial, yang ditandai adanya kerja sama ekonomi. Fungsi keluarga adalah berkembang biak, mensosialisasi atau mendidik anak, menolong, melindungi atau merawat orang – orang tua.

3.         Masyarakat 
Dalam bahasa Inggris masyarakat disebut society, asal katanya socius yang berarti kawan. Adapun kata “Masyarakat” berasal dari bahasa Arab, yaitu syirk, artinya bergaul. Adanya saling bergaul ini tentu karena ada bentuk – bentuk aturan hidup, yang bukan disebabkan oleh manusia sebagai perseorangan, melainkan oleh unsur–unsur kekuatan lain dalam lingkungan sosial yang merupakan kesatuan. Para ahli seperti Maclver, J.L. Gillin, dan J.P. Gillin sepakat, bahwa adanya saling bergaul dan interaksi karena mempunyai nilai–nilai, norma-norma, cara–cara, dan prosedur yang merupakan kebutuhan bersama sehingga masyarakat merupakan kesatuan hidup manusia yang berintaraksi menurut suatu sistem adat-istiadat tertentu, yang bersifat kontinyu dan terikat oleh suatu rasa identitas bersama.
Untuk arti yang lebih khusus masyarakat disebut pula kesatuan sosial, mempunyai ikatan–ikatan kasih sayang yang erat. Mirip jiwa manusia, yang dapat diketahui, pertama melalui kelakuan dan perbuatannya sebagai penjelmaannya yang lahir, kedua melalui pengalaman batin dalam roh manusia perseorangan sendiri. Bahkan memperoleh “superioritas”, merasakan sebagai sesuatu yang lebih tingi nilainya daripada jumlah bagian–bagiannya. Sesuatu yang “kokoh-kuat”, suatu perwujudan pribadi bukan di dalam, melainkan luar, bahkan di atas kita.

4.         Interaksional Antar Individu, Keluarga, dan Masyarakat 
Adanya aspek organis-jasmaniah, psikis-rohaniah, dan sosial kebersamaan yang melekat pada individu, mengakibatkan bahwa kodratnya ialah untuk hidup bersama manusia lain. Pada hewan, kolektivitas bersifat naluriah, pada manusia, di samping rohaniah juga karena nalar, menimbulkan kesadaran membagi peranan dalam hidup berkelompok sehingga perjuangan hidup menjadi ringan. Menurut Durkheim kebersamaannya dapat dinilai sebagai “mekanistis”, merupakan solidaritas “organis”, yaitu atas dasar saling mengatur. Selain kepentingan individual, diperlukan suatu tata hidup yang mengamankan kepentingan komunal demi kesejahteraan bersama. Perangkat tatanan kehidupan bersama menurut pola tertentu kemudian berkembang menjadi apa yang disebut “pranata” sosial” atau abstraksi yang lebih tinggi lai, dinamakan “kelembagaan” atau “institusi”.
Individu barulah individu apabila pola perilakunya yang khas dirinya itu diproyeksikan pada suatu lingkungan sosial yang disebut masyarakat. Kekhasan atau penyimpangan dari pola perilaku kolektif menjadikannya individu, menurut relasi dengan lingkungan sosialnya yang bersifat majemuk serta simultan. Dari individu dituntut kemampuan untuk membawa dirinya secara konsisten, tanpa kehilangan identitas nilai etisnya. Relevan dengan relasi – relasi sesaat antara dirinya dengan berbagai perubahan lingkungan sosialnya. Satuan – satuan lingkungan sosial yang melingkari individu terdiri dari keluarga, lembaga, komunitas, masyarakat, dan nasion. Individu mempunyai “karakter”, maka satuan lingkungan mempunyai “karakteristik” yang setiap kali berbeda fungsinya, struktur, peranan, dan proses – proses yang berlangsung di dalam dirinya. Posisi, peranan dan tingkah lakunya diharapkan sesuai dengan tuntutan setiap satuan lingkungan sosial dalam situasi tertentu.

4.         Hubungan Individu dengan Dirinya 
Merupakan masalah khas psikologi. Di sini muncul istilah – istilah Ego, Id, dan Superego serta dipersonalisasi (apabila relasi individu dengan dirinya adalah seperti dengan orang asing saja), dan sebagainya. Dalam diri seseorang terdapat tiga sistem kepribadian yang disebut “Id” atau “es” (Jiwa ibarat gunung es di tengah laut), Ego atau “aku”, dan superego atau uber ich. Id adalah wadah dalam jiwa seseorang, berisi dorongan primitif dengan sifat temprorer yang selalu menghendaki agar segera dipenuhi atau dilaksanakan demi kepuasan. Contohnya seksual atau libido. Ego bertugas melaksanakan dorongan - dorongan Id, tidak bertentangan dengan kenyataan dan tuntutan dan Superego. Egod alam tugasnya berprinsip pada kenyataan relative principle.
Superego berisi kata hati atau conscience, berhubungan dengan lingkungan sosial, dan punya nilai–nilai moral sehingga merupakan kontrol terhadap dorongan yang datang dari Id. Karena itu ada semacam pertentangan antara Id dan Superego. Bila ego gagal menjaga keseimbangan antara dorongan dari id dan larangan dari superego, maka individu akan mengalami konflik batin yang terus menerus. Untuk itu perlu kanalisasi melalui mekanisme pertahanan. Demikian psikoanalisa sebagai teori kepribadian yang dikemukakan oleh Sigmund Freud (1856– 939), sarjana berkebangsaan Jerman.

5.         Hubungan Individu dengan Keluarga 
Individu memiliki relasi mutlak dengan keluarga. Ia dilahirkan dari keluarga, tumbuh dan berkembang untuk kemudian membentuk sendiri keluarga batinnya. Terjadi hubungan dengan ibu, ayah, dan kakak-adik. Dengan orang tua, dengan saudara– audara kandung, terjalin relasi biologis yang disusul oleh relasi psikologis dan sosial pada umumnya.
Peranan-peranan dari setiap anggota keluarga merupakan resultan dari relasi biologis, psikologis, dan sosial. Relasi khusus oleh kebudayaan lingkungan keluarga dinyatakan melalui bahasa (adat-istiadat, kebiasaan, norma-norma, bahkan nilai-nilai agama sekalipun). Masalah kekerabatan seperti adanya marga dan keluarga besar banyak dibahas dalam antropologi, yang menunjukkan kelakuan dan tindakan secara tertib dan teratur dalam berbagai deferensi peran dan fungsinya melalui proses sosialisasi atau internalisasi.

6.         Hubungan Individu dengan Masyarakat 
Masyarakat merupakan satuan lingkungan sosial yang bersifat makor. Aspek teritorium kurang ditekankan. Namun aspek keteraturan sosial dan wawasan hidup kolektif memperoleh bobo yang lebih besar. Kedua aspek itu munjuk kepada derajat integrasi masyarakat karena keteraturan esensial dan hdup kolektif ditentukan oleh kemantapan unsur – unsur masyarakat yang terdiri dari pranat, status, dan peranan individu. Variabel– ariabel tersebut dipakai dalam mengkaji dan menjelaskan fenomena masyarakat menurut persepsi makro.
Sifat makro diperoleh dari kenyataan, bahwa masyarakat pada hakiaktnya terdiri dari sekian banyak komunias yang berbeda, sekaligus mencakup berbagai macam keluarga, lembaga dan individu–individu.
Hubungan individu dengan masyarakat dalam persepsi makro lebih bersfiat sebagai abstraksi. Kejahatan dalam masyarakat mako merupakan gejala yang menyimpang dari norma keteraturan sosial, sekaligus dapat berperan sebagai indikator tinggi – rendahnya keamanan lingkungan untuk penghuni dan golongan masyarakat dari status tersebut.


Selasa, 01 Oktober 2013

Masalah Kependudukan

MASALAH KEPENDUDUKAN

Masalah kependudukan di indonesia antara lain faktor ekonomi, pendidikan,dan meningkatnya  jumlah penduduk, dan lapangan kerja pun semakin menyempit dan sulit, sedangkan semakin menambahnya penduduk semakin sedikit lowongan kerja yg membuat para pekerja akhirnya menjadi pengangguran.  Dan kedepanya akan berdampak kriminalitas dan naiknya kemiskinan.
Masalah kependudukan lainya dengan faktor belum meratanya kepadatan penduduk dalam satu wilayah. Semankin banyak penduduk dalam satu wilayah itu maka akan semakin sulit mensejahterakan masyarakatnya dan sebaliknya semakin sedikitnya penduduk maka kemajuan di wilayah tersebut akan terhambat. Untuk itu di sinilah pemerintah seharus ikut serta dalam masalah ini contohnya bekerja sama dengan lembaga-lembaga  yg dapat mengendalikan kelajuan penduduk dengan progam (KB). Hal ini supaya bisa mengontrol angka kemiskinan dan angka peningkatan penduduknya.
Dari segi lingkungan, masalah pemukiman adalah masalah penduduk. Ketika manusia berjumlah terbatas dan hidup serba sahaja, maka cara hidup dan bermukin manusia diserasikan dengan lingkungan alam. Waktu itu kita tidak mengenal masalah lingkungan hidup. Tapi manusia bertambah banyak dan akal pikirannya berkembang, sehingga cara hidup dan bermukim tidak lagi diserasikan dengan lingkungan alam. Malah sebaliknya lingkungan yang diubah untuk dicocokkan dengan cara hidup dan bermukim manusia. Ruang dirombak untuk membangun berbagai bentuk perumahan dengan fasilitas pelayanan hidup yang bermacam-macam, seperti pelayanan kesehatan, pendidikan, hiburan atau pasar yang harus ditunjang oleh prasarana jalan, angkutan, listrik, air minum dan sebagainya.
Masalah kemiskinan salah satu wabah penyakit yang menyerang negara-negara sedang berkembang dewasa ini adalah kemiskinan berserta saudara kembarnya keterbelakangan. Karena dalam kenyataannya kedua hal itu melemahkan fisik dan mental manusia yang tentunya mempunyai dampak negatif terhadap lingkungan
Sebab-sebab Kemiskinan
Sebab-sebab kemiskinan yang pokok bersumber dari empat hal, yaitu mentalitas si miskin itu sendiri, minimnya keterampilan yang dimiliki, ketidakmampuannya untuk memanfaatkan kesempatan-kesempatan yang disediakan, dan peningkatan jumlah penduduk yang berlebihan. Sesungguhnya keempat hal ini dalam kenyataannya kait mengait.
Apabila orang telah terperangkap dalam jurang kemiskinan, dan tidak lagi melihat untuk keluar dari jurang itu, maka ia cenderung mengambil sikap "nerimo" dalam bahasa Jawanya. Sikap ini bukanlah sikap yang seluruhnya irasional.
Dari pandangan lain kemiskinan juga identik dengan keterbelakangan. Hal ini akan menyulitkan atau menjadi penghambat dalam pembangunan ekonomi. Keterkaitan ini dapat dilihat pada :
 Masyarakat yang berpenghasilan renadah kemampuan menabung dan pembentukan investasi baik dari sisi modal maupuan keterampilam sangat kecil. Kondisi ini berdampak terhadap daya saing meraih peluang kerja. Dari sisi lain masyarakat yang berpenghasilan rendah, lebih banyak memanfaatkan tenaganya disbanding pemanfaatan pemikirannya, sehingga berdampak kepada tingkat kesuburannya yang tinggi. Kondisi tersebut akan mempertinggi tingkat reproduksi sehingga tingkat kelahiran juga tinggi dilingkungannya. 
Description: https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgaxAiUCxHt8P-S_GGyAa-oPKtP3wYI3v9wOOAosVCcIoWegUs6zUDEyMqfIDXwRLmD7V99gRmscTnRvrdlj-zwkCXPbxO7RjFmnV4rYExnTI1UYz3YQAxS5_WY53lmyC41aVBGSL6pk98/s1600/Foto+5.jpg
Gambar salah satu masalah kependudukan yg miskin.


Jumat, 21 Juni 2013

HAM (Hak Asasi Manusia)

1.                Sejarah HAM (Hak Asasi Manusia) di Indonesia
Sejarah perkembangan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia sudah ada sejak lama. Indonesia adalah negara berdasarkan hukum bukan berdasarkan atas kekuasaan, hal ini dapat kita lihat dengan tegas di dalam penjelasan UUD tahun 1945. Dalam negara hukum mengandung pengertian setiap warga negara mempunyai kedudukan yang sama di hadapan hukum, tidak ada satu pun yang mempunyai kekebalan dan keistimewaan terhadap hukum.
Salah satu tujuan hukum adalah untuk menciptakan keadilan di tengah-tengah pergaulan masyarakat, sedangkan keadilan adalah salah satu refleksi dari pelaksanaan hak asasi manusia dan hukum adalah keterkaitan yang erat, karena dalam pelaksanaan hak asasi manusia. Keterkaitan antara hak asasi manusia dan hukum adalah keterkaitan yang erat, karena dalam pelaksanaan hak asasi manusia adalah masuk ke dalam persoalan hukum dan harus diatur melalui ketentuan hukum.
Dalam negara kesatuan RI sumber dari tertib hukum adalah Pancasila artinya dalam pembuatan suatu produk hukum haruslah berlandaskan dan sesuai dengan kaedah Pancasila. Sebagai suatu falsafah bangsa Pancasila juga memberikan warna dan arah, bagaimana seharusnya hukum itu diterapkan pada masyarakat sehingga terciptanya suatu pola hidup bermasyarkat sesuai dengan hukum dan Pancasila.
Mengenai persoalan hak asasi manusia dalam pandangan Pancasila bahwa manusia sebagai mahkluk Tuhan ditempatkan dalam keluhuran harkat dan martabatnya dengan kesadaran mengemban kodrat sebagai mahluk individu dan mahkluk sosial yang dikaruniai hak, kebebasan dan kewajiban asasi di dalam kehidupan bernegara, berbangsa dan bermasyarakat haruslah mewujudkan keselarasan hubungan:
  1. Antara manusia dengan penciptanya. 
  2. Antara manusia dengan manusia. 
  3. Antara manusia dengan masyarakat dan negara. 
  4. Antara manusia dengan lingkungannya. 
  5. Antara manusia dalam hubungan antar bangsa.
Maka dapat dilihat kritetia hak asasi manusia menurut Pancasila adalah hak dan kewajiban asasi manusia, dimana hak dan kewajiban asasi ini melekat pada manusia sebagai karunia Tuhan yang mutlak diperlukan dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat dan bernegara berdasrkan Pancasila dan UUD tahun 1945.
Di samping Pancasila sebagai landasan filosofis, perlu dilihat UUD tahun 1945 sebagai landasan konstitusional. Dalam membicarakan UUD tahun 1945 haruslah melihat secara keseluruhan artinya melihat UUD tahun 1945 dari pembukaan, batang tubuh dan penjelasannya. Pembukaan UUD tahun 1945 merupakan sumber motivasi, sumber inspirasi cita-cita hukum, cita-cita moral sebagai staatsfundamental norm Indonesia.
Thomas Hobbes mengatakan bahwa “setiap bangsa cenderung mempertahankan kehidupannya, sehinggga semua kegiatan manusia dan masyarakat manusia digerakkan oleh naluri dasar untuk mempertahankan hidup serta harkat dan martabatnya sebagai manusia dan bangsa”. Pandangannya ini sesuai dengan bangsa Indonesia yang telah menentukan jalan hidupnya sendiri sejak tanggal 17 Agustus 1945 sebagai tonggak sejarah dan indikasi bahwa Indonesia telah melaksanakan prinsip-prinsip HAM, bahkan Indonesia telah melaksanakan prinsip-prinsip HAM, bahkan berperan aktif dalam kancah internasional baik di dalam maupun di luar forum PBB.
Peran Indonesia dalam perjuangan hak asasi internasional sejalan dengan tekad bangsa Inodnesia yang tertuang dalam Pembukaan UUD tahun 1945 untuk ikut melaksanakan ketertiban dunia, Indonesia telah aktif dalam usaha menegakkan penghormatan hak-hak asasi manusia di forum internasional sesuai dengan prinsip-prinsip PBB.
Salah satu peran aktif di Indonesia yang penting, setelah diterimanya Universal Declaration of Human Rights oleh negara-negara yang tergabung dalam PBB tahun 1948, adalah diselengarakannya Konferensi Asia Afrika di Bandung pada tahun 1955 yang menghasilkan Deklarasi Bandung yang memuat pernyataan sikap negara-negara peserta bertekad untuk menjunjung tinggi:
  1. Penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia yang sesuai dengan tujuan dan prinsip-prinsip Piagam PBB 
  2. Penghormatan terhadap kedaulatan dan integritas teritorial semua Negara 
  3. Pengakuan atas persamaan derajat semua ras dan semua bangsa besar dan kecil 
  4. Tidak akan melakukan intervensi dan mempengaruhi urusan dalam negari lain 
  5. Penghormatan atas hak setiap bangsa untuk mempertahankan dirinya baik secara sendiri-sendiri maupun kolektif sesuai dengan prinsip-prinsip yang terkandung dalam Piagam PBB 
  6. Menghindarkan diri dari penggunaan cara pertahanan kolektif untuk kepentingan tertentu dari sikap kekuatan besar dan menghindarkan diri dari tindak melakukan tekanan terhadap negara lain 
  7. Menahan diri dari tindakan-tindakan atau penggunaan kekerasan terhadap integritas teritorial atau kemerdekaan politik setiap Negara 
  8. Menyelesaikan segala sengketa internasional dengan cara damai seperti negoisasi, konsiliasi, arbitrase atau pengadilan serta cara-cara lain yang dipilih oleh para pihak sesuai dengan ketentuam Piagam PBB 
  9. Menjunjung tinggi kepentingan timbal balik dan kerjasama internasional. 
  10. Menghormati prinsip keadilan dan kewajiban-kewajiban internasional.
Bagi bangsa Indonesia pelaksanaan HAM telah tercermin di dalam Pembukaan UUD tahun 1945 dan batang tubuhnya yang menjadi hukum dasar tertulis dan acuan untuk setiap peraturan hukum yang di Indonesia. Prinsip-prinsip yang terkandung dalam Pembukaan UUD tahun 1945 telah digali dari akar budaya bangsa yang hidup jauh sebelum lahirnya Deklarasi HAM Internasional (The Universal Declaration of Human Rights 1948).
Di dunia ini terdapat perbedaan-perbedaan yang menyolok di berbagai bidang seperti di tingkat internasional dikenal negara maju, negara berkembang dan negara miskin, negara adikuasa dengan dunia ketiga, negara liberal dengan negara komunis dan di tingkat nasional pun terdapat hal-hal yang berbeda.
Dalam konterks Pembukaan UUD tahun 1945 dapat dililhat bahwa bersirinya Negara Republik Indonesia adalah hasil perjuangan untuk menegakkan HAM Bangsa Indonesia menjadi bangsa yang merdeka. Pembukaan UUD tahun 1945 dengan jelas mencerminkan tekad bangsa Indonesia untuk menjunjung tinggi HAM dari penindasan penjajah “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”.
Sesuai dengan rumusan yang tertulis secara eksplisit dan berdasarkan pandangan hidup dalam masyarakat Indonesia tekad melepaskan diri dari penjajahan itu akan diisi dengan upaya-upaya mempertahankan eksistensi bangsa dengan:
  1. Membentuk pemerintahan Negara Indonesia yang melilndungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia 
  2. Memajukan kesejahteraan umum 
  3. Mencerdaskan kehidupan bangsa 
  4. Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Tujuan tersebut dilandasi oleh falsafah hukum yang menjadi landasan hak dan kewajiban asasi seluruh warga negara Indonesia yaitu Pancasila. Pancasila adalah dasar yang melandasi segala hukum dan kebijaksanaan yang berlaku di negara Republik Indonesia.
Hal ini berarti Pancasila menjadi titik tolak pikir dan tindakan termasuk dalam merumuskan semua peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi HAM. Karena Pancasila merupakan akar filosofis jiwa dan budaya bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai macam suku yang memiliki berbagai macam corak budaya. Dasar-dasar pemikiran dan orientasi Pancasila pada hakekatnya bertumpu pada dan nilai-nilai yang terdapat dalam budaya bangsa. Kebudayaan bangsa tersebar di seluruh kepulauan Indonesia yang terdiri dari kebudayaan tradisional yang telah hidup berabad-abad, maupun kebudayaan yang sudah modern yang telah berakulturasi dengan kebudayaan lain. Selain itu, Pancasila juga mempunyai nilai historis yang mencerminkan perjuangan bangsa Indonesia yang panjang dengan pengorbanan baik harta maupun jiwa sejak berdirinya Budi Utomo pada permulaan abad XX (tahun 1908)yang diikuti dengnan berbagai peristiwa sejarah dalam upaya melepaskan diri dari belunggu penjajahan. Perjuangan yang memperlihatkan dinamika bangsa yang memberikan khas corak yang khas bagi Pancasila sebagai pencerminan bangsa yang ingin kemerdekaan dan kemandirian. Maka Pancasila harus dipegang teguh sebagai prinsip utama.
Kebebasan dasar dan hak-hak dasar yang disebut HAM yang melekat pada manusia secara kodrati sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa. Hak tersebut tidak dapat diingkari. Dilihat dari pilihan yang telah ditetapkan bersama terutama dari Bapak Pendiri Bangsa (The Founding Father) yang bercita-cita terbentuknya negara hukum yang demokratik, maka jiwa atau roh negara hukum demokratik tersebut ada sejauh mana hak asasi itu dijalani dan dihormati. Apabila dilihat UUD sebelum diamandemen, hak asasi tidak tercantum dalam suatu piagam yang terpisah melainkan tersebar dalam beberapa pasal. Jumlahnya terbatas dan diumumkan secara singkat. Karena situasi yang mendesak pada pendudukan Jepang tidak ada waktu untuk membicarakan HAM lebih dalam. Lagipula, waktu UUD 1945 dibuat Deklarasi Hak Asasi Manusia PBB belum lahir, HAM diatur di Pembukaan UUD 1945 yang kemudian dijabarkan dalam Batang Tubuh yaitu pasal 26, pasal 27, pasal 28, pasal 29, pasal 30, pasal 31, pasal 33, dan pasal 34.
Dari kajian pasal-pasal tersebut dikemukakan:
  1. HAM itu meliputi baik yang bersifat klasik maupun yang bersifat sosial. HAM/ warganegara yang bersifat klasik terdapat dalam pasal 27 ayat (1), pasal 28, pasal 29 ayat (2). Yang bersifat sosial dirumuskan dalam pasal 27 ayat (2), pasal 31 ayat (1) dan pasal 24. Sedangkan rumusan dalam pasal 30 tidak termasuk dalam HAM yang klasik maupun yang sosial. Dengan demikian HAM yang timbul karena hukum (legal rights). 
  2. HAM yang berkenaan dengan semua orang yang berkedudukan sebagai penduduk tidak dirumuskan dengan hak melainkan dengan kemerdekaan. Contohnya bunyi pasal 28 dan pasal 29 ayat (2). 
  3. HAM yang berkenaan dengan warga negara Indonesia dengan tegas dikatakan “tidak”. Hal ini dapat dibaca dalam pasal 27 ayat (2), pasal 30 ayat (1) dan pasal 31 ayat (1). 
  4. Sebagian besar rakyat masih dalam keadaan serba kurang (pendidikan dan kebutuhan hidup) 
  5. Belum/tidak adanya hukum atau peraturan positif aplikasi dalam kehidupan bernegara.
HAM di Indonesia sebagai pemikiran paradigma tidaklah lahir bersamaan dengan Deklarasi HAM PBB 1948. Bahwa HAM bagi bangsa Indonesia bukan barang asing terbukti dengan terjadinya perdebatan yang terjadi dalam sidang BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia). Sidang periode pertama BPUPKI terbagai dua yaitu, pertama berlangsung dari tanggal 19 Mei 1945 hingga 1 Juni 1945. Sidang periode kedua diselenggarakan pada tanggal 10 sampai 16 Juli 1945. Sidang I BPUPKI mendengar pidato Soekarno, Muhammad Yamin, Soepomo, Muhammad Hatta terlihat perbedaan pandangan mereka mengenai konsep-konsep “kebebasan” seperti di negara Barat.
Di lain pihak, Muhammad Hatta khawatir jika jaminan kebebasan tidak dicantumkan dalam UUD, hak-hak masyarakat tidak akan ada artinya dihadapan negara. Kemudian masih pada masa sidang II, terjadi perdebatan langsung antara para tokoh tersebut. Dalam rancangan undang-undang dasar yang sedang dibahas pada waktu itu Muhammad Hatta tidak menemukan pasal tentang HAM dan kebebasan, karena itu beliau angkat bicara,” Saya menginginkan pasal-pasal yang mengakui HAM”.
Namun Soepomo menapik Muhammad Hatta, pasal-pasal tersebut tidak perlu ada karena hanya akan memberikan peluang kepada paham individualisme, perseorangan, padahal kita ingin kekeluargaan, katanya. Dalam perdebatan ini, Soepomo didukung oleh Soekarno sedangkan Muhammad Hatta didukung oleh Muhammad Yamin.
Akhirnya para pendiri Republik Indonesia dengan jiwa besar setuju untuk kompromi. Maka lahirlah pasal 27, pasal 28 dan pasal 29 UUD tahun 1945. Proses perumusan tersebut sekaligus menunjukkan bahwa sejak awal pendekatan musyawarah mufakat sudah muncul sebagai fakta-fakta sejarah yang menyangkut proses penyusunan pasal 28 UUD tahun 1945 diungkapkan oleh Muhammad Yamin.
Di Indonesia HAM telah mendapat tempat dan diatur di dalam:
  1. UUD tahun 1945 
  2. Tap MPR No XVII/MPR/1998 tentang HAM 
  3. Undang-Undang No. 39 tahun 1999 tentang HAM 
  4. Undang-Undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen 
  5. Undang-Undang No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM 
  6. Konvensi Internasional Anti Apartheid dalam Olahraga yang diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 48 tahun 1993 tanggal 26 Mei 1993 
  7. Konvensi tentang Hak-Hak Anak tahun 19998 yang diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 36 tahun 1990 tanggal 25 Agustus 1990 
  8. Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan tahun 1979 yang diratifikasi dengan Undang-Undang No. 7 tahun 1984 tanggal 24 Juli 1984. 
  9. Konvensi tentang Hak-Hak Politik Kaum Wanita tahun 1953 yang diratifikasi dengan Undang-Undang No. 68 tahun 1998. 
  10. Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman yang Kejam secara Tidak Manusiawi dalam Merendahkan Martabat Manusia Lainnya tahun 1984 yang diratifikasi dengan Undang-Undang No. 5 tanggal 24 September 1998. 
  11. Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial yang diratifikasi dengan Undang-Undang No. 29 tanggal 25 Mei 1999.
Sehubungan dengan hak-hak diatas untuk menciptakan dan mencapai cita-cita yang diinginkan oleh Bapak Pendiri Negara kita maka perlulah ada pengaturan mengenai HAM itu sendiri yang mana dapat dilihat sebagai berikut:
Dalam Pancasila 
  1. Ketuhanan Yang Maha Esa Kesadaran masyarakat Indonesia akan perbedaan agama yang terdapat dalam kesehariannya dikembangkan dengan adanya toleransi antar umat beragama dan juga hormat menghormati antara pemeluk agama aliran kepercayaan yang berbeda-beda. 
  2. Kemanusiaan yang Adil dan Beradab Dengan sila ini, manusia diakui dan diperlakukan sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa yang sama derajat yang sama hak dan kewajibannya tanpa membedakan suku, agama dan kepercayaan dan jenis kelamin. 
  3. Persatuan Indonesia Dalam sila ini manusia menempatkan persatuan dan kesatuan serta kepentingan bangsa dan negara diatas kepentingan pribadi dan golongan. 
  4. Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan Dalam sila ini manusia Indonesia sebagai warga negara mempunyai kedudukan hak dan kewajiban yang sama. Hal ini tampak jelas dari sistem perwakilan rakyat. 
  5. Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia Dengan sila ini maka mansuia Indonesia menyadari hak dan kewajiban yang sama untuk menciptakan keadilan sosial.

2.               HAM didalam UUD 1945
UUD tahun 1945 sudah memuat beberapa hak asasi manusai baik dalam Pembukaan maupun dalam Batang Tubuh.
Di dalam pembukanya yaitu mulai dari alinea I sampai alinea IV semuanya mengatur tentang HAM, sedangkan dalam Batang Tubuh UUD tahun 1945 HAM diatur dalam pasal:
  1. Dalam pasal 1 ayat (1) dikatakan bahwa kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR. Ketentuan ini mengandung pengertian bahwa negara kita adalah negara yang demokratik negara yang tidak mengakui absolutisme yaitu bersifat sewenang-wenang oleh sebab itu ketentuan ini mengakui hak manusia. 
  2. Dalam pasal 27 ayat (1) yaitu pasal yang menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia. Pasal ini menentukan persamaan hak di depan hukum dan pemerintahan, persamaan untuk memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. 
  3. Pasal 28 yaitu yang mengatur kebebasan untuk berkumpul, berserikat dan mengeluarkan pendapat.




HAM dalam peraturan perundang-undangan yaitu: 
  1. Dalam KUHP yaitu hak manusia tercantum dengan dianutnya asas legalitas. 
  2. Dalam BW yang terdapat dalam pasal 1 ayat (2) anak yang di dalam kandungan seorang perempuan dianggap telah dilahirkan bilamana kepentingan si anak menghendakinya. 
  3. UU No. 14 tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman 
  4. UU No. 8 tahun 1981 yaitu KUHAP yang mengatur tentang perlindungan HAM misalnya bantuan hukum, ganti ruhi maupun rehabilitasi. 
  5. UU No 9 tahun 1986 yaitu Pengadilan Tata Usaha Negara, di dalam undang-undang ini pengakuan dan perlindungan hak-hak asasi juga terdapat pengaturan dalam pasal 4 yang menyatakan bahwa PTUN adalah salah satu pelaksanaan kekuasaan bagi rakyat pencari keadilan terhadap sengketa TUN (Tata Usaha Negara). 
  6. UU No 39 tahun 1999 tentang HAM 
  7. UU No. 26 tahun 2000 tentang Peradilan terhadap Pelanggaran HAM.

3.          Peran Hukum di Indonesia

Menurut saya peranan hukum di Indonesia sangat berjalan tidak baik. Karena masih banyak sekali ketidakadilan dalam proses hukun yang berjalan di Indonesia. Salah satu contoh ketidakadilan hukum di Indonesia yaitu pada kasus koruptor yang dihukum tidak sesuai dengan tindak kejahatan yang dilakukan olehnya. Entah kenapa bisa seperti itu tetapi yang jelas bahwa masih tidak sesuai dengan UUD 1945.