Selasa, 15 Januari 2013

Cerpen tentang manusia dan harapan

Sebuah Harapan
 “Assalamu’alaikum………”
Suara khas itu memecah pagi yang masih senyap di kantor kami.
“Waduh! lagi tanggung nih! Pagi amat sch dia datang!”, seruku dalam hati sambil membenahi pakaianku di kamar kecil. Rupanya karena terburu-buru resliting celana panjangku macet, tersangkut bahan celana.
“Assalamu’alaikum………”
Ulang suara itu.
Aku jadi panik.
“Oh God, please help me”, doaku dalam hati, dan “Semoga Allah SWT tidak marah padaku karena urusan resliting macet saja, aku harus minta pertolonganNya”, bisik hati kecilku sambil tetap menarik-narik retsliting celana yang nyangkut. Tetapi karena tergesa-gesa bukannya berhasil, retslitingku malah jebol, rusak.
“Alamak!”, seruku kaget.
Untung saja blouseku lumayan panjang sehingga bisa menutupi bagian depan celana panjangku yang rusak restlitingnya. Setelah yakin bahwa keadaan darurat itu bisa teratasi, aku keluar dari kamar kecil berjalan dengan agak tergesa menuju teras depan seraya berteriak, “Wa’alaikum salam….. sebentar ya Bu…..”, pintaku padanya. Aku lalu berbelok masuk ke ruang kerjaku yang letaknya di sebelah ruang tamu, dan bergegas mencari dompet dari tas tanganku. Sesegera itu pula aku berlari ke teras dan mengulurkan selembar uang bergambar Tuanku Imam Bonjol kepada perempuan tua itu.
“Alhamdulillah….., terima kasih ya Neng, semoga Allah memberi banyak rejeki dan kesehatan kepada Eneng dan keluarga, amin”, doa ibu itu.
“Amin”, jawabku singkat.
“Ibu baik-baik saja?” tanyaku kemudian.
“Iya Neng, baik. Trima kasih ya Neng”, lanjutnya.
Setelah itu, seperti kebiasaannya. Ibu itu lalu membalikkan badan dan perlahan berjalan terpicang-pincang menuju pintu pagar halaman.
Lama kupandangi punggung ibu (pantasnya sih di panggil nenek) bertubuh mungil itu hingga hilang di balik pagar. Langsung saja kisah yang diceritakannya beberapa waktu lalu memenuhi pikiranku.
***
Perempuan tua itu bernama Ruminah, (menurutnya) berumur 68 tahun. Bertubuh mungil, dengan tinggi badan sekitar 140 cm. Setiap hari Jumat sejak kami menempati kantor ini lima tahun lalu, di waktu yang hampir sama, ibu Ruminah selalu ‘singgah’ ke kantor kami. Pakaian yang dikenakannya selalu sama. Kain sarung batik yang telah pudar warnanya dan baju kebaya bahan brokat yang telah usang pula. Tak lupa sebuah ciput (topi yang biasa digunakan sebagai dalaman jilbab) juga dikenakannya.
Ketika menyapa kami di setiap hari Jumat pagi, nada suara ibu Ruminah sangat khas. “Assalamu’alaikum…….,” teriaknya nyaring dengan suaranya yang agak serak. Karena letak ruang kerjaku paling dekat dengan ruang tamu, biasanya akulah yang terlebih dahulu menjawab salamnya itu. Waktu kedatangannya biasa bertepatan dengan kesibukan pagi kami di depan internet. Karena tak ingin kehilangan banyak waktu ketika mengakses internet, biasanya beberapa di antara kami memberi sekedar uang, sekadar berbasa-basi, lalu bergegas meninggalkannya.
Biasanya ibu Ruminah belum akan beranjak pergi bila dua orang ‘donatur’ tetapnya belum hadir semua. Bila yang muncul hanya salah seorang, ibu Ruminah tak segan-segan bertanya, kemana si eneng? atau kemana bapak yang satunya?
Setelah diberi beberapa lembar uang oleh kami, biasanya ibu Ruminah melantunkan doa yang selalu sama. Kemudian ibu Ruminah berbalik dan berjalan menuju pintu pagar kantor dan berlalu.
Rutinitas seperti itu, kami jalani selama hampir empat tahun lamanya. Hingga suatu hari, aku tak tahan untuk tidak berkomunikasi lebih jauh dengan perempuan renta yang berjalan terpincang-pincang itu.
“Tinggal dimana Bu?”tanyaku waktu itu.
“Di Cakung Neng”, jawabnya.
“Jauh dari sini ya, Bu”, sahutku.
“Ya”, jawabnya ringkas seraya duduk di lantai teras kantor kami. Dia lalu mengusap-usap kakinya yang kurus.
“Jangan duduk di bawah Bu,” pintaku.
Ibu Ruminah lalu pindah, dan kami bersama duduk di kursi rotan yang ada di teras.
“Kenapa kakinya Bu?” tanyaku lagi.
“Rematik Neng, sudah lama. Kadang-kadang sampai nggak bisa jalan”, jawabnya.
“Naik apa Ibu ke Pancoran sini?”tanyaku lagi.
“Naik bis”,jawabnya singkat.
Aku mulai gemas dengan jawabannya yang ringkas-ringkas.
“Di Cakung, Ibu tinggal dengan siapa?” tanyaku.
“Dengan orang Neng. Dia baek sekali ngajakin Ibu tinggal bersamanya. Rumahnya sih sederhana dan kecil Neng. Dindingnya aja kayak rumah-rumah di kampung”, terangnya panjang lebar.
Aku terpana, setengah tak percaya.
“Masih saudara ya Bu? Kerja dimana orang yang nolong Ibu itu?” tanyaku beruntun.
“Bukan Neng, bukan saudara. Kerjanya jualan sayur di pasar Cakung”, sahutnya.
Hatiku tercubit. Entahlah, rasanya ada rasa malu menyelinap. Malu kepada Ibu Ruminah juga kepada pedagang sayur di pasar Cakung itu.
“Tapi ya itu Neng”, lanjut ibu Ruminah, ”Ibu memang boleh tinggal di sana tapi untuk makan ibu harus nyari sendiri. Makanya kalo hari Jumat ibu keliling biar dapat duit. Duit itu ibu pake untuk beli makan seminggu. Tapi kalau rematik ibu lagi kumat dan nggak bisa jalan, ya terpaksa nggak bisa keliling nyari duit. Kalo sudah begitu untuk makan ya ibu ngutang. Ntar ibu bayar kalo sudah dapat duit.”
“Ibu punya anak?” tanyaku lagi.
“Punya Neng, cuma satu, perempuan. Tujuh tahun yang lalu dikawin ama orang Aceh trus di bawa ke sana”, terangnya.
“Emang, anak Ibu nggak pernah nengokin Ibu?” tanyaku lagi.
“Nggak Neng, nggak pernah. Jangan kan nengok, ngirim kabar aja enggak pernah. Waktu itu ibu masih di kampung, di Indramayu. Karena lama nggak ada kabar dari anak, ibu trus ke Jakarta. Pikiran Ibu waktu itu, kalo sudah sampai Jakarta ke Acehnya kan sudah dekat”, katanya lirih.
“Subhanallah, betapa lugunya Ibu ini”, batinku. “Apakah ibu Ruminah tidak tahu bahwa untuk pergi dengan bus ke tempat di ujung utara pulau Sumatera itu paling tidak membutuhkan waktu dua hari satu malam?”, dalam hati aku bertanya.
“Sampai sekarang Ibu tidak tau kabar anak ibu dan suaminya. Ibu juga tidak tau apakah ibu sudah mempunyai cucu dari mereka atau belum”, lanjutnya dengan sedih.
“Tapi Neng!”, katanya tiba-tiba. ”Kata orang-orang, di Aceh baru ada tsunami ya? Apa sih tsunami itu Neng?”
“Tuhanku, kuatkan hatiku”, doaku dalam hati. Lalu dengan keterbatasanku, aku mencoba menjelaskan kepadanya mengenai apa itu tsunami.
Tiba-tiba, air matanya luruh perlahan membasahi pipinya yang keriput.
“Ya Rabbi….., kuatkan hatinya”doaku dalam hati.
“Neng,” katanya kemudian. “Jangan-jangan anak ibu dan suaminya sudah mati kena tsunami ya?”
Aku tak kuasa menjawab.
“Barangkali anak ibu dan suaminya tidak tinggal di daerah yang kena tsunami”, aku mencoba memberinya harapan yang aku tahu pasti sia-sia.
“Apa ibu tau di Aceh sebelah mana anak dan menantu ibu tinggal?”tanyaku.
“Nggak Neng?” jawab ibu Ruminah seraya menyusut air mata dengan ujung kebayanya.
Kami bersama larut dalam pikiran masing-masing, hingga tak terasa kami terdiam cukup lama.
“Neng”, akhirnya ibu itu berkata. “Jika benar anak, menantu dan mungkin cucu ibu telah mati karena tsunami, mungkin sudah jalan hidup mereka. Ibu percaya, Allah SWT yang maha pengasih telah mengatur semuanya. Termasuk suratan bahwa ibu harus bertemu dan tinggal dengan ‘anak’ ibu yang lain”.
“Gusti Allah”, rintihku dalam hati, ”Mengapa aku harus menunggu selama ini untuk mengetahui kisah ibu Ruminah. Betapa tumpulnya perasaanku. Padahal Engkau telah memperingatkanku dengan kedatangannya setiap hari Jumat. Rupanya peringatanMu belum cukup membuka mata hatiku untuk sekadar berempati meski hanya dengan menyapanya. Maafkan aku ya Allah, maafkan aku ibu Ruminah…..”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar