Oleh : Benny
Arnas
Di beranda ini, kuhela
napas perlahan. Mencoba melepaskan semua penat dan tuntutan yang beberapa waktu
terakhir berlomba-lomba memerudukkanku. Ah, tiada apa yang bisa menjamin sebuah
kebahagiaan, selain kemahiran bersikap arif terhadap semua ketentuan, bukan?
Entah, apakah tengah
berfalsafah atau sekadar mengalihkan penyesalan-dan sedikit keperihan-terhadap
keputusanku satu bulan yang lalu untuk tidak ikut serta dalam hajatan akbar
itu. Aku tak tahu....
Yang coba kuselami saat
ini adalah, bahwa ada sekuntum sunyi yang masih betah berlama-lama tumbuh di
dahan malam yang basah. Entah bagaimana, kegelapan dan air langit yang jatuh
satu-satu di tempias daun pisang di salah satu sisi pagar, seakan-akan sengaja
bertaut demi merajut kesyahduan ini: Sebuah potongan masa yang begitu asyik
untuk ditekuni dengan bermenung-menung. Ah, sepertinya aku terlalu
mendramatisir keadaan, ya? Mungkin. Namun... jujur, setidaknya itulah yang aku
rasakan.
Aku tahu, dari gaya
tuturan yang kulontarkan pada mega yang belum menggantungkan bulan di sana,
mudahlah bagi kalian untuk menebak seperti apa perasaanku saat ini. Bahagia;
sedang jatuh cinta; mencari inspirasi untuk sebuah puisi cinta; baru saja
bertemu seorang CEO sebuah penerbitan yang-entah bagaimana asal mulanya-mau
menerbitkan sajak-sajakku; atau.... oww, tidak, Kawan! Semua
kemungkinan-kemungkinan yang elok didengar, wangi diendus, dan (tentu saja)
bergairah untuk diimpikan itu, tiadalah benar adanya. Tak ada itu! Satu kata
saja yang akan mewakili apa-apa yang sedang berkeriapan dalam sanubariku:
Sentimental.
Aku tak tahu, bagaimana
ketersentuhan psikologis itu menderaku. Aku hanya mencoba meyikapi semua yang
berlaku pada karib-karibku itu dengan kebijaksanaan yang benar-benar
kuupayakan. Aku tengah mengurainya menjadi sebuah perasaan bahagia yang
sejatinya memang layak kubahagiai.
"Sanra, lihatlah
mereka! Berhasil semua, bukan?"
Aku hanya tersenyum sabit
ketika Ibu mengatakan itu beberapa hari yang lalu. Takkah Ibu lihat bahwa aku
sudah berupaya membantu keuangan keluarga dengan apa-apa yang kubisa? Memang,
mungkin, di mata sebagian sesiapa, apa-apa yang kugiati masih dipandang
seperdelapan mata, termasuk oleh orangtuaku sendiri.
"Bukan itu
perkaranya, Sanra. Bagaimana kalau kau tua nanti. Apa masih kuat bekerja? Mau
kau kasih makan batu anak-binimu?"
Nah, pada Ayah, aku tak
semringah-raya ketika ia berkoar, menimpali kata-kata ibu sebelumnya. Aku tak
mau-bukannya takut-ayah justru menanggapi reaksiku itu sebagai bentuk peremehan
terhadap tuntutannya-bersama Ibu.
Memang sampai sejauh ini,
ketiga adikku tak banyak menuntut seperti kedua orangtuaku. Namun, itu hanya
masalah pembicaraan di permukaan. Maria yang kini kuliah di semester VII di
sebuah Universitas di luar kota pernah mengatakan bahwa rumah kami di Perumnas
akan dijualnya demi berpenghidupan dengan cara itu. Aku sempat menentang
niatannya itu, namun Ayah dan Ibu justru membelanya.
"Kakak takut tak
dapat warisan rumah itu, kan?"
Kalau tak ingat kalau
adikku itu adalah seorang perempuan, sudah kugampar ia saat itu juga.
Masri. Adikku nomor dua
yang kuliah di semester awal di sekolah tinggi setingkat universitas di kota
ini tentu saja masih belum dapat dipastikan bagaimana prinsip hidupnya:
berseberangan atau selurusan denganku. Yah, semua berlaku karena hingga kini,
biaya kuliahnya masih menjadi tanggunganku. Ketika telah diwisuda kelak,
mungkinlah dapat terbaca, akan kemana pikirannya mengembara demi sebuah pekerjaan-mungkin
juga kehormatan.
Bagaimana dengan si
bungsu? Ai ai, terlalu subuh membicarakan bagaimana Dika yang masih kelas tiga
SD itu mencanangkan hari depannya: Menyunggi-nyunggi sebuah gengsi (mungkin
semu atau... entahlah!) dan strata 'terpandang' di tengah-tengah masyarakat,
atau memilih berpenghidupan dengan apa-apa yang sekiranya bisa diperjuangkan
sesuai dengan kecakapan yang dipunyainya. Ah, masih lama itu....
Cicak-cicak yang
bercericikan di dekat ventilasi pintu, sekejap mengalihkan lamunanku. Tiba-tiba
mataku seakan tersadar pada keadaan sekitar: Malam yang masih merangkak
pelan-pelan.
Hai Malam, ada apa dengan
mereka yang bersembunyi di balik jubah kelammu itu? Mengapa belum jua mereka
menebar lampion biru segilima itu di sekujur gelapmu?
Ya ya ya, dimafhumilah,
bebintang itu tertahan dalam renjananya karena malam masih rinai. Serombongan
rintik masih setengah memaksa menyeruak dari kelam-raya, berganti-gantian
melubangi tanah pekarangan ini. Ah, kadangkala aku berprasangka, bahwa mereka
tengah menghiburku dengan instrumentalia alamnya, kesunyiannya yang memainkan
melodi yang menyayat-nyayat.
"Sudahlah Sanra, kau
teruskan saja pekerjaanmu berwirausaha itu?"
Terimakasih rinai atas
pembelaan (atau hanya penghiburan?!) itu. Terimakasih sekuntum sunyi.
Terimakasih sebatang malam. Terimakasih... oh ya, apakah aku harus mengucapkan
kata itu padamu juga, wahai angin? Atas semua kabar-kabar yang bukan
kabar-kabari yang kaukabarkan padaku beberapa hari yang lalu yang menjadi
musabab kesemuanya: kemarahan ayah yang memuncak; kekesalan ibu yang
remuk-redam; hingga perubahan sikap karib-karibku itu.
Yah, karib-karibku yang
dulu kerap menyambangiku dan berdiskusi hangat di beranda ini, tiada pernah
menampakkan batang hidungnya lagi.
Dulu, ada-ada saja yang
kami bincangkan. Mulai dari kelambanan pemerintah menangani korban bencana
alam, kesan ketidakpedulian mereka terhadap penjajahan Israel pada Palestina,
tentang berbelit-belitnya birokrasi di negeri ini, tentang walikota terpilih
yang ingkar janji, bla bla bla.... Kritis. Tajam. Menusuk hingga meletuskan
gelembung adrenalin kami.
Dan... yang masih segar
dalam ingatan adalah, kami semua pernah sama-sama turun ke jalan beberapa bulan
yang lalu, demi menuntut penegakkan hukum terhadap beberapa orang dekat petinggi
pemerintahan daerah yang terlibat kasus korupsi namun dibebaskan dalam sebuah
persidangan tertutup.
"Baca itu,
Sanra!"
Entah aku lupa, ayah atau
ibu yang menyodorkan koran itu padaku di suatu pagi buta. Yang jelas, dengan
sangat-sangat terang kulihat di sana. Nama-nama kawan-kawan diskusiku di antara
leretan panjang nama-nama lain yang disertai nomor (entah nomor apa?) dan
tanggal lahir mereka.
Tiba-tiba, suara sedikit
riuh dari dalam rumah membuyarkan lamunan dan pengaduanku pada romantisme malam
ini. Kulihat ayah, ibu, Masri, dan Dika sudah di muka pintu.
"Sanra, tadi adikmu
Maria menelpon..."
"Ada bukaan di bulan
depan!" Ibu memotong kalimat Ayah dengan semangat.
"Iya, Kak. Jangan
nggak ikut lagi, ya?" timpal Masri.
Kulihat Dika hanya melongo
memperhatikan mereka yang tiba-tiba saja berbicara dengan penekanan yang
serius. Tak lama, ia mengalihkan pandangan ke arahku.
Keningku berlipat tiga,
mempersilakan ia melempar kebingungan padaku.
"Tadi, abis Kak
Maria nelpon, Ibu, Ayah, dan Kak Masri ribut-ribut..."
Hening.
"... PNS itu apa
sih, Kak?" tanya Dika polos.
Aku bergegas meraih tubuh
adik bungsuku itu. Menggendong sambil mengelitiknya, sebelum bergegas ke dalam.
Meninggalkan Ayah, Ibu, Andika, dan sekuntum sunyi yang masih saja tumbuh di
sebatang malam yang kelam, yang masih basah, yang kian resah.***