Sabtu, 24 November 2012

Cerpen Yang berkaitan Manusia dengan Kegelisahan


Selamat Malam, Malam  
Oleh : Benny Arnas


Di beranda ini, kuhela napas perlahan. Mencoba melepaskan semua penat dan tuntutan yang beberapa waktu terakhir berlomba-lomba memerudukkanku. Ah, tiada apa yang bisa menjamin sebuah kebahagiaan, selain kemahiran bersikap arif terhadap semua ketentuan, bukan?

Entah, apakah tengah berfalsafah atau sekadar mengalihkan penyesalan-dan sedikit keperihan-terhadap keputusanku satu bulan yang lalu untuk tidak ikut serta dalam hajatan akbar itu. Aku tak tahu....

Yang coba kuselami saat ini adalah, bahwa ada sekuntum sunyi yang masih betah berlama-lama tumbuh di dahan malam yang basah. Entah bagaimana, kegelapan dan air langit yang jatuh satu-satu di tempias daun pisang di salah satu sisi pagar, seakan-akan sengaja bertaut demi merajut kesyahduan ini: Sebuah potongan masa yang begitu asyik untuk ditekuni dengan bermenung-menung. Ah, sepertinya aku terlalu mendramatisir keadaan, ya? Mungkin. Namun... jujur, setidaknya itulah yang aku rasakan.

Aku tahu, dari gaya tuturan yang kulontarkan pada mega yang belum menggantungkan bulan di sana, mudahlah bagi kalian untuk menebak seperti apa perasaanku saat ini. Bahagia; sedang jatuh cinta; mencari inspirasi untuk sebuah puisi cinta; baru saja bertemu seorang CEO sebuah penerbitan yang-entah bagaimana asal mulanya-mau menerbitkan sajak-sajakku; atau.... oww, tidak, Kawan! Semua kemungkinan-kemungkinan yang elok didengar, wangi diendus, dan (tentu saja) bergairah untuk diimpikan itu, tiadalah benar adanya. Tak ada itu! Satu kata saja yang akan mewakili apa-apa yang sedang berkeriapan dalam sanubariku: Sentimental.

Aku tak tahu, bagaimana ketersentuhan psikologis itu menderaku. Aku hanya mencoba meyikapi semua yang berlaku pada karib-karibku itu dengan kebijaksanaan yang benar-benar kuupayakan. Aku tengah mengurainya menjadi sebuah perasaan bahagia yang sejatinya memang layak kubahagiai.

"Sanra, lihatlah mereka! Berhasil semua, bukan?"

Aku hanya tersenyum sabit ketika Ibu mengatakan itu beberapa hari yang lalu. Takkah Ibu lihat bahwa aku sudah berupaya membantu keuangan keluarga dengan apa-apa yang kubisa? Memang, mungkin, di mata sebagian sesiapa, apa-apa yang kugiati masih dipandang seperdelapan mata, termasuk oleh orangtuaku sendiri.

"Bukan itu perkaranya, Sanra. Bagaimana kalau kau tua nanti. Apa masih kuat bekerja? Mau kau kasih makan batu anak-binimu?"

Nah, pada Ayah, aku tak semringah-raya ketika ia berkoar, menimpali kata-kata ibu sebelumnya. Aku tak mau-bukannya takut-ayah justru menanggapi reaksiku itu sebagai bentuk peremehan terhadap tuntutannya-bersama Ibu.

Memang sampai sejauh ini, ketiga adikku tak banyak menuntut seperti kedua orangtuaku. Namun, itu hanya masalah pembicaraan di permukaan. Maria yang kini kuliah di semester VII di sebuah Universitas di luar kota pernah mengatakan bahwa rumah kami di Perumnas akan dijualnya demi berpenghidupan dengan cara itu. Aku sempat menentang niatannya itu, namun Ayah dan Ibu justru membelanya.

"Kakak takut tak dapat warisan rumah itu, kan?"

Kalau tak ingat kalau adikku itu adalah seorang perempuan, sudah kugampar ia saat itu juga.

Masri. Adikku nomor dua yang kuliah di semester awal di sekolah tinggi setingkat universitas di kota ini tentu saja masih belum dapat dipastikan bagaimana prinsip hidupnya: berseberangan atau selurusan denganku. Yah, semua berlaku karena hingga kini, biaya kuliahnya masih menjadi tanggunganku. Ketika telah diwisuda kelak, mungkinlah dapat terbaca, akan kemana pikirannya mengembara demi sebuah pekerjaan-mungkin juga kehormatan.

Bagaimana dengan si bungsu? Ai ai, terlalu subuh membicarakan bagaimana Dika yang masih kelas tiga SD itu mencanangkan hari depannya: Menyunggi-nyunggi sebuah gengsi (mungkin semu atau... entahlah!) dan strata 'terpandang' di tengah-tengah masyarakat, atau memilih berpenghidupan dengan apa-apa yang sekiranya bisa diperjuangkan sesuai dengan kecakapan yang dipunyainya. Ah, masih lama itu....

Cicak-cicak yang bercericikan di dekat ventilasi pintu, sekejap mengalihkan lamunanku. Tiba-tiba mataku seakan tersadar pada keadaan sekitar: Malam yang masih merangkak pelan-pelan.

Hai Malam, ada apa dengan mereka yang bersembunyi di balik jubah kelammu itu? Mengapa belum jua mereka menebar lampion biru segilima itu di sekujur gelapmu?

Ya ya ya, dimafhumilah, bebintang itu tertahan dalam renjananya karena malam masih rinai. Serombongan rintik masih setengah memaksa menyeruak dari kelam-raya, berganti-gantian melubangi tanah pekarangan ini. Ah, kadangkala aku berprasangka, bahwa mereka tengah menghiburku dengan instrumentalia alamnya, kesunyiannya yang memainkan melodi yang menyayat-nyayat.

"Sudahlah Sanra, kau teruskan saja pekerjaanmu berwirausaha itu?"

Terimakasih rinai atas pembelaan (atau hanya penghiburan?!) itu. Terimakasih sekuntum sunyi. Terimakasih sebatang malam. Terimakasih... oh ya, apakah aku harus mengucapkan kata itu padamu juga, wahai angin? Atas semua kabar-kabar yang bukan kabar-kabari yang kaukabarkan padaku beberapa hari yang lalu yang menjadi musabab kesemuanya: kemarahan ayah yang memuncak; kekesalan ibu yang remuk-redam; hingga perubahan sikap karib-karibku itu.

Yah, karib-karibku yang dulu kerap menyambangiku dan berdiskusi hangat di beranda ini, tiada pernah menampakkan batang hidungnya lagi.

Dulu, ada-ada saja yang kami bincangkan. Mulai dari kelambanan pemerintah menangani korban bencana alam, kesan ketidakpedulian mereka terhadap penjajahan Israel pada Palestina, tentang berbelit-belitnya birokrasi di negeri ini, tentang walikota terpilih yang ingkar janji, bla bla bla.... Kritis. Tajam. Menusuk hingga meletuskan gelembung adrenalin kami.

Dan... yang masih segar dalam ingatan adalah, kami semua pernah sama-sama turun ke jalan beberapa bulan yang lalu, demi menuntut penegakkan hukum terhadap beberapa orang dekat petinggi pemerintahan daerah yang terlibat kasus korupsi namun dibebaskan dalam sebuah persidangan tertutup.

"Baca itu, Sanra!"

Entah aku lupa, ayah atau ibu yang menyodorkan koran itu padaku di suatu pagi buta. Yang jelas, dengan sangat-sangat terang kulihat di sana. Nama-nama kawan-kawan diskusiku di antara leretan panjang nama-nama lain yang disertai nomor (entah nomor apa?) dan tanggal lahir mereka.

Tiba-tiba, suara sedikit riuh dari dalam rumah membuyarkan lamunan dan pengaduanku pada romantisme malam ini. Kulihat ayah, ibu, Masri, dan Dika sudah di muka pintu.

"Sanra, tadi adikmu Maria menelpon..."

"Ada bukaan di bulan depan!" Ibu memotong kalimat Ayah dengan semangat.

"Iya, Kak. Jangan nggak ikut lagi, ya?" timpal Masri.

Kulihat Dika hanya melongo memperhatikan mereka yang tiba-tiba saja berbicara dengan penekanan yang serius. Tak lama, ia mengalihkan pandangan ke arahku.

Keningku berlipat tiga, mempersilakan ia melempar kebingungan padaku.

"Tadi, abis Kak Maria nelpon, Ibu, Ayah, dan Kak Masri ribut-ribut..."

Hening.

"... PNS itu apa sih, Kak?" tanya Dika polos.

Aku bergegas meraih tubuh adik bungsuku itu. Menggendong sambil mengelitiknya, sebelum bergegas ke dalam. Meninggalkan Ayah, Ibu, Andika, dan sekuntum sunyi yang masih saja tumbuh di sebatang malam yang kelam, yang masih basah, yang kian resah.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar