1.1
Pengertian
Pancasila dalam Etika
Etika
adalah kelompok filsafat praktis (filsafat yang membahas bagaimana manusia
bersikap terhadap apa yang ada) dan dibagi menjadi dua kelompok. Etika
merupakan suatu pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan
pandangan-pandangan moral. Secara etimologi “etika” berasal dari
bahasa Yunani yaitu “ethos” yang berarti watak, adat ataupun kesusilaan. Jadi
etika pada dasarnya dapat diartikan sebagai suatu kesediaan jiwa seseorang
untuk senantiasa patuh kepada seperangkat aturan-aturan kesusilaan.
Etika itu sendiri merupaka sebuah
perilaku untuk mampu bertanggung jawab dengan berbagai ajaran moral yang telah
lama ada. Kelompok etika terdiri dari etika umum dan khusus. Berikut merupakan
penjelasan dari masing-masing kelompok etika:
1. Etika Umum, merupakan sebauah
prinsip-prinsip yang berlaku bagi setiap tindakan manusia, serta system nilai
apa yang terkandung didalamnya.
2. Etika khusus, merupakan sebuah
prinsip-prinsip tersebut diatas dalam hubungannya dengan berbagai aspek
kehidupan manusia, baik sebagai individu (etika individual) maupun
makhluk sosial (etika sosial). Etika khusus dibagi menjadi 2 macam yaitu Etika
Individual dan Etika Sosial.
a.
Etika Individual membahas kewajiban manusia terhadap dirinya
sendiri dan dengan kepercayaan agama yang dianutnya serta kewajiban dan
tanggung jawabnya terhadap Tuhannya.
b. Etika Sosial membahas norma-norma
sosial yang harus dipatuhi dalam hubungannya dengan manusia, masyarakat, bangsa
dan Negara.
Hubungannya
Pancasila dengan etika politik yakni terdapat pada rumusan Pancasila yang
otentik dimuat dalam Pembukan UUD 1945 alinea keempat. Dalam penjelasan UUD
1945 yang disusun
oleh PPKI ditegaskan
bahwa “pokok-pokok pikiran
yang termuat dalam Pembukaan (ada empat, yaitu persatuan, keadilan,
kerakyatan dan ketuhanan menurut kemanusiaan yang adil dan beradab) dijabarkan
ke dalam pasal-pasal Batang Tubuh. Dan menurut TAP MPRS No.XX/MPRS/1966
dikatakan bahwa Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum. Sebagai
sumber segala sumber, Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum.
Pancasila merupakan
satu-satunya sumber nilai
yang berlaku di tanah air. Dari satu sumber tersebut diharapkan mengalir
dan memancar nilai-nilai ketuhanan, kemanusian, persatuan, kerakyatan penguasa.
Hakikat Pancasila pada dasarnya merupakan satu sila yaitu gotong royong atau
cinta kasih dimana sila tersebut melekat pada setiap insane, maka nilai-nilai
Pancasila identik dengan kodrat manusia. oleh sebab itu penyelenggaraan Negara
yang dilakukan oleh pemerintah tidak boleh bertentangan dengan harkat dan
martabat manusia, terutama manusia yang tinggal di wilayah nusantara. Pancasila
sebagai core philosophy bagi
kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara, juga
meliputi etika yang
sarat dengan nilai-nilai filsafati;
jika memahami Pancasila
tidak dilandasi dengan
pemahaman segi-segi filsafatnya,
maka yang ditangkap
hanyalah segi-segi filsafatnya,
maka yang ditangkap hanyalah segisegi fenomenalnya
saja, tanpa menyentuh inti hakikinya. Pancasila merupakan hasil kompromi nasional
dan pernyataan resmi
bahwa bangsa Indonesia
menempatkan kedudukan setiap warga negara secara sama, tanpa membedakan
antara penganut agama
mayoritas maupun minoritas. Selain itu
juga tidak membedakan
unsur lain seperti
gender, budaya, dan daerah.
Nilai-nilai
Pancasila bersifat universal yang memperlihatkan napas humanism, karenanya
Pancasila dapat dengan mudah diterima oleh siapa saka. Sekalipun Pancasila
memiliki sifat universal, tetapi tidak begitu saja dapat dengan mudah diterima
oleh semua bangsa. Perbedaannya terletak pada fakta sejarah bahwa nilai-nilai
secara sadar dirangkai dan disahkan menjadi satu kesatuan yang berfungsi
sebagai basis perilaku politik dan sikap moral bangsa. Dalam arti bahwa
Pancasila adalah milik khas bangsa Indonesia dan sekaligus menjadi identitas
bangsa berkat legitimasi moral dan budaya bangsa Indonesia sendiri. Nilai-nilai
khusus yang termuat dalam Pancasila dapat ditemukan dalam sila-silanya. Pancasila
sebagai nilai dasar yang fundamental adalah seperangkat nilai yang terpadu
berkenaan dengan hidup
bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara. Apabila kita
memahami pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945,
yang pada hakikatnya adalah nilai-nilai Pancasila.
1.2
Aktualisasi Pancasila Sebagai Dasar
Etika Tercermin dalam Kelima Sila
Pancasila
sebagai dasar negara pasti memiliki sebuah aktualisiasi etika yang harus
ditaati oleh seluruh bangsa Indonesia. Aklualisasi Pancasila tersebut tercermin
kedalam kelima sila yang memiliki makna yang mendalam pada setiap sila yang
ada. Berikut adalah aktualisasi Pancasila sebagai Dasar Etika:
1.
Sila pertama:
Menghormati setiap orang atau warga
negara atas berbagaikebebasannya dalam menganut agama dan kepercayaannya
masing- masing, serta menjadikan
ajaran-ajaran sebagai anutan
untuk menuntun ataupun
mengarahkan jalan hidupnya.
2.
Sila kedua:
Menghormati setiap
orang dan warga
negara sebagai pribadi (personal) “utuh
sebagai manusia”, manusia
sebagai subjek pendukung,
penyangga, pengemban, serta pengelola hak-hak dasar kodrati yang
merupakan suatu keutuhan dengan eksistensi dirinya secara bermartabat.
3.
Sila ketiga:
Bersikap dan
bertindak adil dalam
mengatasi segmentasi- segmentasi
atau primordialisme sempit dengan jiwa
dan semangat “Bhinneka Tunggal Ika”-“bersatu dalam perbedaan” dan
“berbeda dalam persatuan”.
4.
Sila keempat:
Kebebasan, kemerdekaan, dan
kebersamaan dimiliki dan dikembangkan dengan dasar musyawarah untuk mencapai
kemufakatan secara jujur dan terbuka dalam menata berbagai aspek kehidupan.
5.
Sila kelima:
Membina dan
mengembangkan masyarakat yang
berkeadilan sosial yang mencakup kesamaan derajat (equality)
dan pemerataan (equity) bagi
setiap orang atau setiap warga negara.
Sila-sila
dalam Pancasila merupakan satu kesatuan integral dan integrative
menjadikan dirinya sebagai sebagai referensi kritik sosial kritis, komprehensif, serta sekaligus evaluatif
bagi etika dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa ataupun bernegara. Konsekuensi dan
implikasinya ialah bahwa norma etis yang mencerminkan satu sila akan mendasari dan mengarahkan sila-sila
lain.
1.3
Pengertian Politik
Pengertian “politik” berasal dari kosa
kata “politics” yang memiliki makna bermacam-macam kegiatan dalam suatu sistem
politik atau negara yang menyangkut proses penentuan tujuan-tujuan dari sistem
itu dan diikuti dengan pelaksanaan tujuan-tujuan itu.
1.3.1
Etika Politik
Berdasarkan suatu kenyataan bahwa
masyarakat, bangsa, maupun negara bisa berkembang ke arah keadaan yang tidak
baik dalam arti moral. Misalnya suatu negara yang dikuasai oleh penguasa atau
rezim yang otoriter. Dalam suatu masyarakat negara yang demikian ini maka
seseorang yang baik secara moral kemanusiaan akan dipandang tidak baik menurut
negara serta masyarakat negara. Oleh karena itu aktualisasi etika politik harus
senantiasa mendasarkan kepada ukuran harkat dan martabat manusia sebagai
manusia.
1.3.2 Hubungan Etika Politik Dengan Pancasila
Dalam
kaitannya, pancasila merupakan sumber etika politik itu sendiri. Etika politik
menuntut agar kekuasaan dalam negara dijalankan sesuai dengan asas legalitas
(legitimasi hukum), secaraa demokratis (legimitasi demokratis), berdasarkan
prinsip-prinsip moral atau tidak bertentangan dengannya (legitimasi moral).
Pancasila sebagai suatu sistem filsafat memiliki tiga dasar tersebut
Penyelenggaraan
negara baik menyangkut kekuasaan, kebijaksanaan yang menyangkut publik,
pembagian serta kewenangan harus berdasarkan legitimasi moral relegius (sila I)
serta moral kemanusiaan (sila II). Selain itu dalam pelaksanaan dan
penyelenggaraan negara harus berdasarkan legitimasi hukum yaitu prinsip
legalitas. Negara Indonesia adalah negara hukum, oleh karena itu “keadilan”
dalam hidup bersama (keadilan sosial) sebagaimana terkandung dalam sila ke V.
Negara adalah berasal dari rakyat dan segala kebijaksanaan dan kekuasaan yang
dilakukan senantiasa untuk rakyat (sila VI).
Prinsip-prinsip dasar etika politik itu telah jelas terkandung dalam Pancasila.
Dengan demikian, Pancasila adalah sumber etika politik yang mesti
direalisasikan. Para pejabat eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, pelaksana
aparat dan penegak hukum harus menyadari bahwa selain legitimasi hukum dan
legitimasi demokratis juga harus berdasar pada legitimasi moral yang memang
pembentukan dari nilai-nilai serta dikongkretisasi oleh norma.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar