Minggu, 12 Juli 2015

Studi Kasus Pertambangan



STUDI KASUS PERTAMBANGAN
(KOTA SAMARINDA)

Pertambangan batubara di Indonesia telah berlangsung selama 40 tahun lebih, sejak keluarnya UU No.11 tahun 1967 tentang pokok-pokok Pertambangan yang kemudian diganti dengan UU Pertambangan Mineral dan Batu Bara Tahun 2009. UU ini telah menjadi landasan eksploitasi sumberdaya mineral dan batu bara secara besar-besaran untuk mengejar pertumbuhan ekonomi. Industri batubara Indonesia telah berkembang dengan pesat dalam waktu singkat. Dalam hanya 10 tahun produksi telah berkembang dari sekitar 3 juta ton menjadi lebih dari 50 juta ton, dan diharapkan dua kali lipat lagi dalam beberapa tahun mendatang. Sebagai akibatnya industri batubara menghasilkan manfaat sosial dan ekonomi yang besar bagi Indonesia seperti: lapangan kerja bagi ribuan masyarakat Indonesia terutama di daerah yang kurang berkembang di daerah seperti Kalimantan dan Sumatera dan juga akan mendukung program pemerintah untuk pengentasan kemiskinan . Namun kegiatan tersebut tidak hanya menguntungkan dari segi sosial dan ekonomi tapi juga memberikan dampak negatif, terutama kerusakan lingkungan di daerah penghasil tambang.
Di daerah penghasil barang tambang, lingkungan yang sehat dan bersih yang merupakan hak asasi setiap orang menjadi barang langka. Bahkan daerah penghasil juga merasakan ketidakadilan seperti kebutuhan energi akan listrik dari batubara masih kurang pasokannya. Sementara batu bara dikirim ke daerah lain untuk memenuhi kebutuhan energi terutama untuk pembangkit listrik tenaga uap di Jawa. Disamping itu negara Indonesia ingin meningkatkan pertumbuhan ekonominya dengan mendapatkan devisa sebesar-besarnya dari bahan tambang dan migas maka tidak ada jalan lain, eksploitasi besar-besaran terutama barang tambang batubara pada beberapa tahun ini semakin gencar. Hal ini membuat kondisi lingkungan di daerah penghasil batubara semakin menurun bahkan makin kritis.
Salah satu daerah penghasil batubara adalah kota Samarinda. Kota Samarinda yang terletak di daerah katulistiwa. Dengan kondisi topografi yang datar dan berbukit antara 10-200 meter diatas permukaan laut. Dengan luas wilayah 718 KM². Kota Samarinda berbatasan dengan Kabupaten Kutai Kartanegara disebelah barat, timur, selatan dan utara yang merupakan penghasil batubara terbesar kedua di Kalimantan Timur. Pada dasawarsa tahun 2000-an, perkembangan peningkatan produksi batubara di Kota Samarinda semakin meningkat. Sehingga Samarinda juga dikenal dengan sebutan kota tambang karena hampir 38.814 ha (54%) dari total 71.823 ha luas kota Samarinda merupakan areal tambang batubara. Pertambangan batubara yang sudah berproduksi dengan rincian 38 KP (Kuasa Pertambangan) yang mendapat ijin dari wali kota samarinda dan 5 (lima) PKP2B2 (Perusahaan Pemegang Perjanjian Karya perjanjian usaha Pertambangan) dengan izin pemerintah pusat. (kompas 30 mei 2009) yang belum beroperasi. Belum lagi ada puluhan tambang-tambang illegal yang banyak dikelola pengusaha dan masyarakat. Bahkan sekarang kegiatan pertambangan ini telah merambah kawasan lindung maupun perkotaan. Hal ini diketahui setelah adanya bukti-bukti bahwa kawasan hutan raya bukit suharto telah dirambah pertambangan batubara dan penambangan illegal yang dikenal dengan batubara karungan yang banyak terdapat di kawasan perumahan-perumahan penduduk di kota Samarinda makin memperparah kondisi lingkungan kota Samarinda.
Izin Investasi pertambangan batubara yang dikeluarkan begitu mudah, tentu dikawatirkan akan mengabaikan tuntutan perlindungan lingkungan dan konflik yang disebabkan oleh kegiatan pertambangan yang semata-mata berorintasi ekonomi, yaitu bagaimana memperoleh keuntungan yang besar dari ekspoitasi, semantara aspek lingkungan dan sosial dipinggirkan. Pada hal pertimbangan lingkungan, sosial dan ekonomi dalam aktivitas pertambangan harus menjadi satu kesatuaan yang tidak terpisahkan.
Walaupun semenjak adanya pertambangan batubara ini peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) kota sangat terasa dan devisa negara semakin meningkat namun dampak lingkungan dari kegiatan penambangan batubara yang semakin banyak tersebut juga cukup meresahkan bagi masyarakat Samarinda. Dampak lingkungan ini antara lain adalah erosi dan banjir dan pencemaran udara,air dan tanah. Indikator kerusakan lingkungan yang semakin parah tersebut bisa dilihat dari DAS Sungai Karang Mumus yang semakin berkurang kawasan hutannya akibat pembukaan pertambangan yang berakibat dampak dari erosi semakin tinggi mengakibatkan sungai karang mumus semakin dangkal sehingga daya tampung airnya pun semakin berkurang. Hampir kerap terjadi bila hujan dengan intensitas kecil -sedang bisa mengakibatkan beberapa daerah tergenang oleh banjir. Bahkan data Selama tiga bulan terakhir saja sejak November dan Desember 2008 serta Januari 2009--Samarinda lima kali didera banjir cukup besar menyebabkan puluhan ribu warga menjadi korban akibat rumahnya terendam air antara 30 Cm sampai satu meter., padahal awal tahun 90 – 2000, tiap tahun hanya 1 - 2x banjir melanda kota Samarinda.
Dampak perubahan iklim pun juga dirasakan pada saat ini, akibat konversi hutan menjadi pertambangan menjadikan suhu kota Samarinda naik hampir 1,5 digit, Belum dampak turunan dari banjir dan perubahan iklim tersebut yaitu banyak penyakit-penyakit seperti muntahber, ISPA, Kulit dan lain-lain yang semakin sering diderita warga Samarinda.
Dan dampak yang dirasakan langsung oleh warga Samarinda akibat pertambangan batubara ialah dampak polusi udara dari kegiatan konstruksi dan operasi serta banyaknya truk-truk pengangkut batubara yang menggunakan jalan-jalan umum kota Samarinda, selain mengakibatkan polusi juga menimbulkan kerusakan jalan.
Menyadari bahwa permasalahan kerusakan lingkungan hidup yang demikian kompleks, diperlukan kebijakan dan strategi untuk meningkatkan penanganan terpadu dengan melibatkan stakeholders dan instansi teknis terkait bersama-sama untuk mencegah, menanggulangi dan memulihkan kerusakan lingkungan tersebut.
Permasalahan pokoknya lainnya ialah, bagaimana mengolah dan mengelola SDA dengan bijaksana agar sesuai dengan konsep pembangunan berkelanjutan yang didasari oleh laporan Our Common Future (Masa Depan Bersama) yang disiapkan oleh World Commision on Environment and Development,1987) yaitu pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa mengorbankan kemampuan generasi akan datang untuk mencukupi kebutuhan mereka.
Tindakan pengelolaan pertambangan batubara berkelanjutan yang tepat perlu dilaksanakan dengan memperhitungkan :
1.        Segi keterbatasan jumlah dan kualitas sumber batubara,
2.        Lokasi pertambangan batubara serta pengaruhnya terhadap pertumbuhan masyarakat dan pembangunan daerah,
3.        Daya dukung lingkungan dan
4.        Dampak lingkungan, ekonomi dan sosial masyarakat akibat usaha pertambangan batubara.
Dari skor keberlanjutannya, untuk dimensi sosial dan lingkungan masih dibawah skor keberlanjutan, untuk dimensi ekonomi di atas skor keberlanjutan. Dilihat di lapangan, memang dapat dikatakan dampak kerusakan lingkungan akibat kegiatan pertambangan batubara sudah sangat mengkuatirkan walaupun PAD dan ekonomi masyarakat sekitar tambang ada peningkata. Namun bila diukur dari analisis prospektifnya dapat disimpulkan bahwa kegiatan pertambangan batubara lebih banyak merugikan baik materi maupun non materi masyarakat Samarinda umumnya dari kerusakan lingkungan seperti banjir, polusi udara, air dan tanah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar